Hasan memiliki adik perempuan, namanya Ninis. Kedua saudara itu sedang mendalami ilmu agama di pesantren At-Thahiriyyah. Hal itu sesuai dengan wasiat kekek mereka. Ninis seorang gadis belia yang belum mengenal cinta. Remaja putri yang sering mengenakan jilbab warna hitam dipadu gaun hijau itu masih duduk di kelas tiga MTs. rutinitasnya berkisar antara mengaji, belajar, dan membaca.
Siang yang pengap. Ninis tampak sedang asyik membaca buku. Berteman selembar kipas kertas untuk mengusir peluh. Seorang gadis berjilbab warna merah mendadak menghampirinya
“Nis, ini ada surat untukmu. Dari santri putra!” ucap gadis itu.
“Santri Putra!?” tanya Ninis kaget dan penasaran.
“Ya,”
Ninis merasa takut, pun penasaran. Selama ini ia merasa tidak mengenal lelaki di lingkungan itu. Dan kini dia mendapatkan sebuah surat.
“Orangnya gimana, Mbak,” tanya Ninis.
“Orangnya tinggi. Wajahnya tidak terlalu tampan. Ia memakai jaket warna biru.”. Ninis tahu siapa orang itu. Kembali dia bertanya
“Mbak, dia tadi menunggu lama di kantor pemanggilan?”
“Ya, saking lamanya menunggu, dia pun pamit. Katanya ada janji dengan seseorang dan menitipkan surat ini untukmu.”
“O, kalau itu ya Kakakku, Mbak,” ucap Ninis lega.
Ninis merasa lega setelah mengetahui ciri-ciri pria yang menitipkan surat itu. Ia menghela nafas. Semula dia mengira, ada pria yang iseng dan ingin menggodanya.
***
DI MUSHOLA pondok putri At Thahiriyyah puji-pujian dan sholawat menggema. Menyongsong saat magrib. Para santriwati mulai berdatangan. Membawa sajadah warna-warni dan bergambar masjid Nabawi. Mereka telah mengenakan mukena putih, membawa Al Qur’an serta buku mungil Nadlam Imrithy.
Seorang santri yang memakai mukena berbordir bunga mawar datang. Ia lalu membeber sajadah merahnya. Ia tampak sibuk dengan diri sendiri dan tidak menoleh sama sekali ke arah teman-temannya. Tina, demikianlah ia biasa dipanggil. Salah satu santri andalan yang pernah mendapatkankan berbagai piagam dalam ajang lomba nasional. Ketika sajadah merahnya mulai terbentang di atas lantai, air matanya mendadak menetas, membasahi mukena.
“Kenapa kau menangis, Tin?” tanya seorang teman yang ada di dekatnya.
“Aku tak tega melihat Ninis menangis sesenggukan.”
“Ninis menangis lagi? Apa dia nekat akan boyong lagi dengan cara kabur seperti kemarin?” tanya Sholihah.
Tina menggelengkan kepala. Ia menceritakan, bahwa Ninis diliputi kesedihan saat menatap foto ibunya. Ia lalu mendekati Ninis dari arah belakang. “Kamu jangan mengecewakan Ibu di Rumah, kamu boleh pindah pondok kalau sudah lulus dan bisa masuk wisuda Imrithy” bunyi tulisan di kertas kecil yang dipegang Ninis dan terbaca oleh Tina dari belakang.
Sebenarnya Ninis memang tidak kerasan di pondok. Namun orangtuanya melarang dirinya boyong sebelum lulus kelas tiga MTs dan bisa mengikuti Wisuda Imrithy. Sebuah ajang paling ditunggu, dan untuk bisa lolos wisuda tersebut harus melewati beberapa audisi. Salah satunya menghafal nadham Imrity dan Maqsud. Kumandang iqomah terdengar, membuyarkan suasana. Ninis melipat kertas itu lalu menyelipkannya di dalam buku nadham Imrithy. Kertas itu adalah surat dari kakaknya.
***
NINIS bertekad ingin membahagiakan Ibu bapaknya. Pun tidak mengecewakan kakaknya. Ia mengikis keinginan pindah dan boyong. Dia sadar seakan mendapat lecutan semangat dari surat kakaknya. Setiap hari ia berusaha menghaf

Komentar
Posting Komentar
Nama ::
Request LOKER ::