Kerja KSP Artha Muliya


 Mentari pagi menyinari baju hijau tua yang selalu dikenakan Jumadi. Ustadz muda yang kaya. Bukan kaya harta tapi kaya lemak di tubuhnya. Tubuhnya yang bongsor sering membuatnya merasa berat. Saat berdiri, berjalan, dan ketika melakukan aktifitas mengajar


di TPQ Mansya’ul Huda.

Berbagai obat telah ia coba. Mulai daundaunan, obat langsing, obat diet sampai obat kuat. Kuat untuk tidak makan sehari semalam demi mengurangi lemaknya. Tapi hasil semua obat-obatan itu masih nihil.

Pernah di sepertiga malam ia berdoa. Inti doanya malam itu satu, ingin berat badannya berkurang. Doanya panjang dan dia lantunkan dengan khusyuk. Bahkan setiap doa yang sanggup ia hafal ia ucapkan malam itu. Ia lalu tidur sambil menunggu waktu sholat shubuh. Dalam tidur itulah ia bermimpi bertemu dengan almarhum kiai Amrin, ayah kiai Fikri. Kiai itu spontan berkata “Ala sabili shihhati”. Potongan kalimat yang merupakan jawaban pertanyaan Jumadi berkenaan dengan masalah yang ia keluhkan selama ini, berat badan.

Jumadi terbangun saat adzan subuh menggema. Ia lalu bergegas menunaikan sholat

subuh berjamaah bersama Kiai Fikri.

“Kyai, saya ingin bertanya soal mimpi saya semalam?” ucap Jumadi pada kiai Fikri setelah para warga bubar jamaah shubuh.                 

“Maaf, Jum,” kata Kiai Fikri “nanti jam sepuluh pagi saja. Datanglah ke rumah. Sekarang saya sudah ditunggu Amrullah untuk mengisi pengajian di desa sebelah.”

Jumadi menoleh ke depan musolla dan melihat sopir pribadi kiai Fikri telah menunggu.

“O ya, Jum, sekalian kau ajak adikmu. Nanti akan kukasih jambu dan teh hangat kesukaannya” imbuh Kyai Fikri

“Baik, Kiai” Kiai Fikri lalu melangkah menuju mobilnya.

***

PUKUL sembilan tiga puluh menit Jumadi dan adiknya menuju ke rumah Kyai Fikri. Keduanya berboncengan sepeda. Kendaraan itu lalu berhenti tepat di depan garasi. Kakak beradik itu menunggu di depan ruang tamu. Seperti yang dijanjikan, pada pukul sepuluh Kyai Fikri telah datang.

“Ayo, masuk...” ucap Kyai Fikri saat baru turun dari mobil.

“Bu, tolong buka pintunya!”

Pintu terbuka. Jumadi lalu masuk diiringi Cici, adiknya. Kyai Fikri menyambut guru mengaji anak-anak dan adiknya itu dengan ramah.

“Ayo silahkan duduk!,”

“Ah, saya duduk di lantai saja, Kyai. Saya takut kursinya jeplok,” kata Jumadi dengan malu

“Hahaha....” Kyai Fikri tak bisa menyembunyikan tawanya

“Memangnya kau mimpi apa, Jum? Ketemu gendruwo, Bidadari, Tuyul atau melihat kursi jeplok?”

“Begini, Kyai. Sudah berhari-hari saya ikhtiyar untuk bisa kurus. Kegemukan saya menganggu aktifitas. Sudah bermacam obat saya konsumsi, tapi hasilnya tidak juga terlihat.” Ucap Jumadi sebelum menjelaskan soal mimpinya

“Gemuk ya disyukuri saja, Jum. Semua kalau disyukuri akan terasa nikmat lho...” ucap Bu Nyai.

“Ingin gemuk kok datang ke sini, kan seharusnya datang ke Dokter!” Bu Nyai menambah omongan tanpa ada yang menyuruh.

“Terus hubungannya dengan mimpimu itu apa?” Kyai mulai merespon.

“Begini Kyai, di sepertiga malam saya berdoa minta kurus. Saya lalu tidur untuk menunggu sholat shubuh. Saya bermimpi sedang berada di dalam sebuah majlis yang diasuh Kyai Amrin. Secara spontan saya mengajukan pertanyaan yang mustahil saya lakukan dalam keadaan sadar.”

“Terus…” kata Kyai Fikri

“Saya bertanya, bagaimana caranya bisa kurus. Kyai Amrin lalu menanggapi pertanyaan itu dengan jawaban simpel, tapi jawaban itu masih belum bisa saya pahami. Ucapan kiai Amrin berbunyi, “Ala sabili sihhati”. Kyai Fikri mulai berpikir, ia lalu berkata

“Oh begini...,” Jumadi mulai serius memperhatikan.

“Oh begini,” lanjut kiai Fikri “sebaiknya Nak Jumadi minum kopinya dulu. Kasihan Bu Nyai sudah susah payah membuatkan tapi belum diminum.” Jumadi menyeruput kopi lalau kembali bertanya.

“Terus bagaimana tafsir mimpi itu, Kyai?”

“Begini, saya akan merenungkannya dulu. Bagaimana kalau nanti malam saja kau ke sini lagi?”

“Emm, baiklah, Kiai.” Jawab Jumadi

“Datang ke sini jam sepuluh ya?” tambah kiai Jumadi dan adiknya pun berpamitan pulang.

***

PIKIRAN Jumadi terus dibayangi mimpinya. Seperti telah disepakati, pada pukul sepuluh Jumadi kembali datang ke rumah kiai Fikri. Namun seperti sebelumnya, kiai Fikri masih belum menjawab pertanyaan lelaki bongsor itu. Kiai Fikri lagi-lagi meminta Jumadi untuk datang ke rumah esok hari. Dengan agak kecewa Jumadi pulang.

Sesampai di rumah Jumadi langsung merebahkan raganya. Baru beberapa dirinya rebah dengkurannya telah ramai terdengar. Dan lagi-lagi Jumadi bermimpi. Dalam mimpi kali ini ia bertemu seorang perempuan janda yang sudah tua. Ia berkata pada Jumadi,  

“Ustadz, kata Kyai Amrin ‘Ingatase Jalan Sehat’. Jumadi terbangun dan kebingungan. Dalam mimpi kedua ia bertemu seorang janda dan membisiki telinga kanannya “Kyai Amrin

berpesan Ing atase jalan sehat. Tanpa mengajak adiknya Jumadi pergi ke rumah kiai Fikri.

“Kyai, tadi malam saya bermimpi mendapat pesan dari almarhum abah sampeyan, Kyai Amrin,” ucap Jumadi

“Pesan apa, Jum?” tanya Kyai Fikri.

“Pesannya, ‘Ingatase Jalan Sehat’. Kyai Fikri lalu menatap foto almarhum

ayahnya. Foto yang tergantung di tembok dan bersebelahan dengan Jam dinding. Ia lalu berkata “O, sekarang saya paham, Jum. Saya tahu tafsir kedua mimpimu itu.” Kiai Fikr

Komentar